how to understand this text in different language

Selasa, 26 Maret 2013

Cinta Bulan Purnama: Part 1



Cinta Bulan Purnama: part 1


Orang bilang ia cacat. Pengucapan kata-katanya ketika berbicara agak sulit ditangkap telingaku. Apalagi kalau ia menggunakan bahasa jawa. Wajahnya terbagi dua. Paras sebelah kirinya jauh dari apa yang disebut orang jawa sebagai wong bagus. Tapi sisi kanan menampakkan rupa aslinya yang menawan. Aku suka memandangnya kalau ia tersenyum dari sudut manapun. Senyum lebar yang sering ia berikan padaku saat kami berpapasan.

Jari jemari dikedua tangannya panjang-panjang. Bentuknya hanya itu. Tidak indah. Hanya menjulur saja. Kadang aku perhatikan jari jemari itu bekerja saat memberi makan ternak sapinya atau waktu mengoper persneling mobil pick-up hitam yang ia kemudikan untuk mengantar furniture kayu milik majikannya yang juga pakdenya sendiri. Tapi secara keseluruhan, lengannya indah.

Rambutnya biasa. Lurus tebal dan suka ia bagi kekanan lebih banyak. Kalau diperhatikan, ada pusaran rambut tepat diatas leher belakang. Bulu-bulu halus mengisi pipi kanan dan kiri hingga terlihat dari belakang jika lebih dekat,  saat kami berboncengan sepeda motor,  seperti mengatakan bahwa pemiliknya adalah laki-laki sejati.

Dadanya bidang. Lebar dadanya menceritakan kebaikan hatinya, dan kasih sayang yang tulus kepada siapa saja yang ia kenal. Menegaskan kesabarannya menghadapi tulisan nasib yang mematri status dirinya sebagai orang yang dianugrahi cleft palate.

Kedua kakinya kukuh, siaga berteriak kepada siapa pun bahwa mereka adalah tiang-tiang kokoh yang siap menyangga kehidupan ibunya, dan saudara- saudara. Tingginya sedang saja. Tapi tidak pendek. Dan ia masih bisa akan lebih tinggi lagi karena umurnya memang baru menjelang 23 tahun.

Ia menikmati hidup. Tertawa ketika bisa dan suka menari. Joget dangdut yang suka ia lakukan dengan jenaka didepanku bagiku adalah tarian yang merayakan hidup dan perasaannya padaku. Kebetulan aku tidak suka musik tersebut. Dan mungkin tidak akan pernah suka. Tapi melihat caranya berjoget, aku rela sebagian memori laptopku untuk menyimpan lagu-lagu ceria itu. Ia suka bernyanyi. Dan aku suka senandungnya. Tapi nyanyiannya selalu terhenti. Saat ia menyadari keterbatasan suaranya.

Hatinya gampang terenyuh melihat kesakitan orang. Batinnya mungkin berkaca pada keadaan dirinya sendiri yang selalu bergulat dengan rasa pedih yang mempertanyakan mengapa ia lahir dengan membawa ketidak sempurnaan fisik yang membuatnya menderita batin. Aku tidak tahu seberapa dalam luka itu.

Isi kepalanya bertolak belakang dengan kemudaan tubuhnya. Dari caranya menasehati adinda yang manja dan ingin selalu dituruti keinginannya, maupun caranya mematuhi dan menopang kehidupan kedua orangtua. Kejujuran dan ketegasannya,  umurnya bisa jadi sudah 40 tahun. Tujuh  tahun lebih tua dariku.

Tekadnya untuk tidak pernah akan menikah, dan hanya mengabdikan diri dan hidupnya untuk kedua orangtua bersumber dari rasa putus asa yang sering bertepuk sebelah tangan dalam percintaan. Kehidupan romantiknya menyedihkan. Beberapa kali ia jatuh cinta, dengan segenap hati dan perasaan, berkali-kali ia ditolak. Beberapa ada juga yang memanfaatkannya sebagai pengisi pulsa otomatis.

Kesabarannya adalah relatif . hanya keluguan anak-anak yang bisa menahannya dari murka. Siapapun, apapun pangkat, usia maupun jenis kelaminnya  tidak akan luput dari tinjunya. Satu yang bisa membuatnya amat sangat marah.  Yaitu jika ada yang menggodanya dengan menirukan caranya berbicara. Baginya itu adalah penghinaan atas harga diri.

Perlawanan terhadap penolakan sesamanya. Sesuatu yang kucoba pahami. Karena memukul orang apapun alasannya adalah sesuatu yang kurang bisa aku terima. Namun aku mengerti kehidupan kanak-kanak dan remajanya mungkin juga menjadi pemicu melakukan agresi. Ketika ia merasa berbeda dengan teman-teman sebaya, ketika orang mulai melihatnya berbeda, ketika ia merasa kurang diterima dengan adil.. Ia sering bertanya dengan lantang, siapa yang minta dilahirkan begini?. Maka saat ada yang  meledek dengan menirukan caranya berbicara, gunung kemarahan yang tertunda seperti menemukan momen untuk meletus sedahsyat-dahsyatnya.

Tidak ada manusia yang sempurna.

Bagiku ia adalah penolong yang setiap saat bersedia meminjamkan tangannya untuk membantuku. Mulai dari urusan dapur sampai urusan pekerjaan, ia akan datang tanpa diminta. Mungkin ia iba melihatku. Single parent dengan 3 anak yang masih kecil-kecil. Jauh dari kedua orangtua, hidup di desa yang berbeda dengan kehidupanku sebelumnya. Ia tau aku belum lama berpisah dari mesin cuci, internet,  dan pembantu rumahtangga. Kadang ia marah jika dilihatnya aku mencuci pakaian kotor yang begitu banyak. Karena disini aku harus melakukannya ditelaga yang cukup jauh dari rumah tempatku menumpang. Mungkin ia heran mengapa aku betah tinggal didesanya. Padahal menurutku, desa ini seratus kali lebih nyaman dari tempat manapun didunia!.

Adalah telaga tirta berlatar bebukit, yang setiap hari menyapa aku dengan kebeningan airnya. Adalah kabut tipis membungkus matahari yang  tiap pagi menarik kedua mataku terbangun untuk melihat keindahannya. Adalah manisnya kacang tanah yang ditanam diatas batu padas bertanah tipis.  Adalah senyum anak-anak desa yang riang menyambutku di pintu  menjelang pengajian TPA.  Adalah masjid bersahaja ditepian telaga. Aku adalah segala sesuatu yang menyenangkan.

Anak-anakku tumbuh menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Menjadi liar dan tangguh seperti sebagaimana seharusnya. Dengan kelembutan kasih sayang orang desa. Meskipun luka terjatuh yang menginfeksi sering menghinggapi tungkai dan lengan mereka, aku tidak gusar. Nyai Clinton betul juga. Memang butuh orang sedesa untuk membesarkan anak-anak. Kehilangan papanya tidak banyak berpengaruh bagi mereka. Karena orang sedesa ini gantinya memenuhi hati mereka.

Ketika pertama kali aku tiba disini. Rasanya seperti akan pingsan. Tempatnya begitu jauh. Dan atmosfir perkampungan yang dihuni rumah-rumah berpekarangan luas, jalan-jalan sepi menurun dan menanjak curam, irama kehidupan desa yang tenang kadang membuatku tidak kerasan. Namun setelah dua minggu masa transisi yang dipenuhi air mata, aku mulai terbiasa.

Koneksi internet yang buruk, biaya komunikasi yang mahal, tidak adanya televisi memaksaku untuk terfokus pada hubungan antar tetangga. Meski  masih gagap dalam beramah tamah, aku melakukannya juga. Tidak belebihan kalau kukatakan kini aku sedang berlatih untuk menjadi manusia jawa seutuhnya.

Jarak dari rumah bulik ku ke kota terdekat adalah sekitar lima kilometer. Setelah berjalan naik turun, perjalanan bersepeda motor kecepatan tinggi bisa memakan waktu sekitar 15 menit. Waktu tempuh yang cukup jauh bagi orang yang terbiasa hidup bersandingan dengan mini market.

Bulik ku perempuan jawa tulen. Penyabar, wanita solo yang lembut dan jarang marah. Hatinya lapang seperti rumahnya yang menerimaku dan anak-anak tanpa syarat. Airmatanya  menyambut kedatangan kami dilingkungan ini dan menyapu keraguanku akan penerimaan yang aku takutkan. Karena sejatinya yang berhubungan darah dengan ku adalah suaminya. Sedang pak lik ku yang bekas preman itu tinggal menumpang dirumah isterinya.

Dia, laki-laki berumur 23 tahun itu adalah keponakan bulikku. Tinggal di seberang jalan. Selalu melewatkan hari ulang tahunnya yang tidak pernah dirayakan seolah kehadirannya didunia tidak berarti. Saat aku membutuhkan sesuatu ia selalu ada. Dan memberikan bantuan tanpa diminta.

Aku mulai menyadari ada sesuatu yang lain dari perhatiannya. Caranya berinteraksi dengan anak-anakku, denganku, seolah ia ingin mengisi kekosongan yang ada. Ketika tepat waktunya, aku yang mengajaknya kembali memberanikan diri  untuk membina hubungan dengan seorang perempuan.

Mulanya ia tidak percaya bahwa aku suka padanya. Ia bilang aku gila. Tidak waras, ia tidak tahu bahwa ia adalah laksana segenggam salju yang jatuh dari awan dingin yang membasahi jerami kering. Dan jerami itu beralih menjadi hijau lagi.

Tapi kehidupan percintaan kami hanya berumur pendek. Seperti usia telur burung cendet yang bersarang diatas pohon belimbing disamping rumah. Belum sempat menetas, sudah terjatuh diusik bocah-bocah usil yang sepi kegiatan.

Aku mencoba untuk bergeming. Sibuk menghibur diri sendiri bahwa segala sesuatu ada ajalnya. Sesuatu yang dimulai akan berakhir cepat atau lambat. Dan tentu saja, kedua orangtuanya tidak akan pernah menyetujui anak laki-lakinya menjalin hubungan dengan seorang janda beranak tiga. Betapapun tidak ada agama yang melarang maupun hukum yang dilanggar. Tetapi prinsip orang tidaklah sama. Aku menelan ramuan pahit ini yang tidak mungkin menyembuhkan apapun.

Mungkin Tuhan menolongku dengan cara ini. Bukan mungkin. Tapi pasti. Sebab aku yakin tanpa ada sebab yang begitu penting bagiku dan baginya tidak mungkin Tuhan memisahkan kami. Keputusan orangtuanya, bude dan kakak sepupunya pastilah yang terbaik. Apapun alasan mereka, entah demi kepentingan mereka sendiri yang mengatasnamakan kepentingan dirinya, yang jelas aku saat ini sudah tidak bisa lagi bertukar cerita dengannya setiap saat. Ini yang terbaik bagi kami. Sulit sekali untuk mempercayainya, tetapi begitulah.
Kadang ia seperti menghindari aku. Apalagi jika sedang dibawah pengawasan kedua orangtuanya. Terlihat sekali ia bingung harus bersikap bagaimana. Mungkin seharusnya aku tidak ada disini. Tidak menetap disini. Aku hanya menjadi racun..

Hari ini ulangtahunnya. Aku menahan diri untuk tidak terlalu membesar-besarkan. Karena tidak mau membuat insiden dengan melakukan hal yang akan membuat dirinya tambah diawasi. Apalah yang aku akan berikan padanya sebagai hadiah. Honor mengajarku sudah habis beberapa hari yang lalu. Kiriman dari orangtua belum akan tiba. Tapi pasti ada yang bisa aku lakukan untuk dia hari ini. Entah apa.

Patah hati itu sakit. Sakit seperti orang yang dibedah dadanya tanpa bius. Dan dari pada menjerit, aku lebih suka menangis. Tiga malam. Makin lama tangisannya makin berkurang. Dan nanti malam aku berjanji tidak ada lagi rasa sedih. Cinta memang harus diperjuangkan. Tapi tidak oleh sebelah pihak saja.

Selamat ulang tahun mas.  Sepanjang Februari 2011 tidak akan kulupakan.